oleh: Keneth A. Smith, Ph.D., CPA, Rita Cheng, Ph.D., CGFM, CPA,
Ola Smith, Ph.D., CPA, dan Lee Schiffel Ph.D., CGFM

Kualitas pelaporan kinerja meliputi akuntansi dan audit saat membuat laporan yang secara wajar menampilan kinerja dan kondisi keuangan yang sistematis dan dapat dibuktikan. pelaporan kinerja telah menjadi perhatian lebih dalam 20 tahun terakhir pada Lembaga Standar Akuntansi Pemerintahan (GASB) sejak sebuah seri pembelajaran subjek tersebut dipublikasi antara tahun 1989 dan 1992 yang menyimpulkan “Waktunya Telah Tiba.” Pada tahun 1994, GASB merilis Konsep Laporan NO. 2, Upaya Layanan dan Kecakapan Laporan, yang tidak mengatur standar laporan formal melainkan menyebutkan “eksperimentasi” atas pelaporan kinerja dan pengukuran.

Pada tahun 2003, staf GASB menerbitkan “Informasi pelaporan kinerja: Kriteria Yang Dianjurkan untuk Komunikasi Yang Efektif” (sering diketahui sebagai “buku hijau”). Kemudian, yang akan datang AGA akan mengembangkan program Sertifikat Prestasi dalam Upaya Layanan dan Kecakapan Laporan (COA-SEA) untuk pemerintah pusat dan lokal. Untuk mengevaluasi laporan,
AGA menggunakan garis pedoman yang didasari oleh kriteria yang GASB anjurkan untuk pelaporan kinerja pemerintah pusat dan lokal. Dalam tiga tahun program COA-SEA (untuk tahun fiskal 2004-2006), 15 pemerintah lokal berhasil mengimplementasikan kriteria tersebut dan mendapatkan total 33 penghargaan.

Program AGA mirip dengan program laporan keuangan dan penganggaran Asosiasi Pekerja Keuangan Pemerintah (GFOA). Bagaimanapun, upaya pelaporan kinerja tidak hadir tanpa kontroversi. Asosiasi profesional, khususnya GFOA, telah menentang upaya GASB “untuk mengambil peran dalam pengembangan pengukuran kinerja di sektor publik.” Di 1993 dan juga di 2002, GFOA  menerbitkan “Laporan Kebijakan Publik” yang menentang GASB. Pada April 2007, GASB secara formal menambahkan sebuah proyek pelaporan kinerja pada agendanya dan memperkirakan untuk menerbitkan draftnya pada 2008. GASB akan mengikuti proses normal sebagaimana draft yang ada dibuat untuk publik atas tanggapan sebelumnya untuk penerbitan laporan final.

Rintangan lain untuk pelaporan kinerja meliputi sebuah kekurangan sumber dan atau kekurangan dukungan dari manajemen lini atas. Banyak pejabat yang juga mengekspresikan konsentrasi yang luar biasa pada bagaimana media atau publik akan bereaksi terhadap pengukuran kinerja atau mereka akan digunakan untuk perbandingan yang tidak layak. Pada penerbitan Jurnal tahun 2006, Professor Schiffel dan Smith menyediakan bukti bahwa ulasan media atas pelaporan kinerja pemerintah adalah “baik.” Meskipun begitu, ketakutan akan media sering kali menjadi alasan pertama manajer mengatakan untuk tidak menampilan laporan pada publik. Sebagai tambahan, pemikiran pelaporan kinerja bukan merupakan hal serius yang akan terlewati dan terhapus oleh beberapa reformasi atau inisiasi lainnya.

Tingkat pelaporan kinerja Saat Ini

Dengan pemberian intensitas pada debat mengenai pelaporan kinerja, kami mempertanyakan seberapa banyak upaya akan diperlukan untuk lembaga-lembaga untuk menemukan kriteria CEA, atau dapat didapatkan dengan upaya yang beralasan, lalu konsentrasi mengenai pelaporan kinerja mungkin berkurang. Informasi mengenai status pelaporan kinerja akan juga berguna dalam pengaturan garis pedoman masa depan untuk kualitas laporan.

Kami mengumpulkan dan menganalisa pelaporan kinerja dari website 200 lembaga kenegaraan. kami memilih dokumen tunggal (biasanya PDF) yang muncul untuk melaporkan penghitungan kinerja untuk masyarakat. 200 lembaga terdiri dari empat departement besar dari masing-masing dipilih untuk mewakili berbagai kegiatan negara yang berbeda. koreksi, pendidikan (K-12), jasa manusia dantransportasi. Kami memilih departement yang lebih besar untuk meningkatkan kemungkinan memiliki sebuah situs web dan memiliki staf yang cukup untuk menyiapkan laporan kinerja. Program COA-SEA AGA memanfaatkan peninjau eksternal untuk mengevaluasi sejauh mana pemerintah menerapkan masing-masing kriteria yang dianjurkan GASB. Untuk studi ini, kami mengadopsi pedoman AGA dan metodologi penilaian.

Program sertifikat biasanya menggunakan praktisi profesional sebagai “juri,” bersama dengan seorang juri pusat yang ahli di lapangan. Dua dari kami telah mempelajari dan menulis tentang langkah-langkah kinerja selama hampir 15 tahun, kami merasa nyaman menjabat sebagai juri ahli. Kami melatih mahasiswa dari program master kami untuk melayani sebagai juri praktisi, untuk setiap laporan, ada dua praktisi juru kode serta satu programmer ahli yang secara independen membaca dan mencetak setiap dokumen. Penilai masing-masing menandai 17 skor dari nol sampai tiga untuk masing-masing kriteria AGA. Skor nol untuk tanpa upaya, skor satu untuk beberapa upaya, skor dua untuk yang memenuhi kriteria dan tiga diberikan untuk yang melebihi kriteria. Perjanjian antara penilai selalu dekat, dengan skor mutlak antara ketiga penilai sekamir 70 persen dari saat itu dan hanya satu penilai mencetak hanya satu kategori yang berbeda sekamir 30 persen dari saat itu. Ketika berbeda, jumlah tersebut selalus hanya satu poin, seperti ketika dua penilai memiliki satu, yang lain memiliki nol atau  dua.

Untuk menerima sertifikat, AGA menuntut paling tidak 13 dari 17 kriteria yang disarankan, dua dari tiga tinjauan menyimpulkan kriteria itu terpenuhi, (atau setidaknya dua poin yang ditugaskan) dan tidak ada kriteria dianggap oleh dua dari tiga tinjauan yaitu tidak terpenuhi (sehingga tidak ada poin). Dengan demikian, skor minimal 30 dari dari kemungkinan 51 (tiga kali 17) diperlukan untuk memenuhi syarat sertifikat. Bukan menunjukkan skor baku, kami membagi nilai masing-masing instansi itu dengan 30, jadi 100 persen merupakan poin yang cukup untuk mendapatkan sertifikat. Skor 100 persen tidak secara otomatis menghasilkan sertifikat, tapi kami merasa itu adalah tolak ukur kualitas yang berguna dan mudah dipahami.

Dari lima skor baku yang melebihi 100 persen, kami yakin dua bisa meraih sertifikat: Departemen Pelayanan Masyarakat Iowa dan Departemen Pendidikan Kentucky. Anehnya, kedua lembaga kenegaraan ini menerapkan program tersebut.

Hasil

Gambar 1 menunjukkan skor untuk empat lembaga di negara masing-masing. Skor nol diberikan bila kami tidak dapat menemukan laporan di website badan tersebut. Negara-negara terdaftar dalam urutan dengan skor rata-rata dari empat departemen. Nilai tertinggi diperoleh oleh Oregon, 25 persen lebih tinggi dari dari Missouri di tempat kedua. Di bagian bawah, negara-negara skor terendah beberapa laporannya telah hilang.

Gambar 2 menunjukkan rata-rata untuk empat departemen. Rata-rata dan kisaran skor di antara departemen sangat mirip, meskipun Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat sedikit lebih tinggi. Ini sedikit mengejutkan karena kami memperkirakan beberapa perbedaan, khususnya di bidang pendidikan dimana kami menduga kualitas pelaporan lebih tinggi dan lengkap karena persyaratan pelaporan No
Child Left Behind (NCLB).

Gambar 3 menunjukkan rata-rata untuk kriteria. Terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga yang cukup kecil, maka kami menunjukkan rata-rata di antara 200 lembaga. Kami mengelompokkan hasil yang konsisten dengan kategori gagal, upaya,memenuhi atau melampaui kategori dari AGA. Dari catatan ditemukan bahwa 66 persen negara menyediakan beberapa tingkat pelaporan kinerja dan 20 persen melaporkan pada tingkat yang mungkin memenuhi syarat atau melebihi kriteria dari sertifikat AGA. Perbedaan luas dalam pelaporan yang ada di antara kriteria, menunjukkan bahwa beberapa persyaratan akan lebih mudah untuk dicapai daripada yang lain.

Kesimpulan

Kami menemukan bahwa kualitas pelaporan kinerja terbatas pada beberapa departemen yang tersebar di antara negara bagian, dan hanya satu negara yang memiliki laporan konsisten di empat departemen kenegaraan yang kami tinjau. Terlepas dari rendahnya kualitas laporan kinerja oleh lembaga kenegaraan, kami optimis tentang bukti yang kami akumulasi. Pedoman penghargaan AGA cukup mudah untuk diterapkan dan membedakan antara pelaporan kinerja yang lebih tinggi dan lebih rendah kualitas. Juga, sebagian besar lembaga tampaknya memiliki cukup data, penulis laporan hanya tidak mencakup konten tertulis yang cukup. Akhirnya satu negara dinilai tinggi di keempat lembaga dan mungkin bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain. Kami tidak sepenuhnya terkejut dengan hasil ini. Kami telah menghadiri banyak konferensi tentang pengukuran kinerja dan telah berbicara dengan bajak pegawai pemerintah yang berjuang untuk mempersiapkan laporan kinerja. Pengalaman kami menunjukkan bahwa sejumlah kecil orang dan pemerintah telah mengatasi daftar panjang hambatan untuk menghasilkan laporan yang berkualitas.

Sebagian besar orang-orang yang tersisa membutuhkan bantuan tambahan. Berdasarkan temuan kami, kami merekomendasikan bahwa lembaga-lembaga harus mengambil langkah-langkah berikut untuk mendekati kriteria SEA:ñ Membuat laporan kinerja yang mudah untuk ditemukan di situs kelembagaan. Banyak laporan sangat sulit untuk ditemukan. ñ Mencoba untuk mengatasi masing-masing kriteria. Beberapa kriteria yang hanya membutuhkan sedikit kata-kata tertulis, namun masih banyak instansi tidak mengatasi itu.

Pada bulan November 2007, salah satu universitas terkemuka di bidang ini, Rutgers-Newark, menjadi tuan rumah tahunan pertama konfrensi Pengukuran Kinerja Publik dan Pelaporan Jaringan (PPMRN). Slide presentasi tersedia secara online, tapi dua tema yang muncul terkait dengan studi keluar. Pertama, masyarakat melihat pemerintah sebagai penyedia layanan tunggal dan bukan badan-
badan yang berbeda atau yurisdiksi, dan kedua, perbandingan kolaboratif antara pemerintah serupa tampaknya bekerja tetapi memerlukan dukungan eksternal profesional dan dua atau tiga periode pelaporan untuk memperjelas langkah-langkah dan masalah pengukuran.

Sebagai kesimpulan, kami memiliki alasan yang perlu didukung. Kami pikir sangat penting bagi semua pihak untuk mengakui ada beberapa lembaga negara berharga yang melakukan pekerjaan berkualitas dalam pelaporan kinerja. Kecuali Oregon, negara-negara gagal dalam memberikan informasi kinerja berkualitas yang konsisten secara online. Oregon tidak berarti sempurna, tetapi dapat
menjadi model bagi negara-negara lain untunk dapat ditiru. Namun, hasil analisis dari 200 lembaga negara dan hasil terbaru dari konferensi PPMRN menunjukkan bahwa perbaikan kinerja yang lebih baik (tidak hanya kualitas laporan) mungkin tidak jauh dari jangkauan dan mungkin yang terbaik dapat dicapai jika upaya dikoordinasikan oleh area layanan (misalnya dengan semua Koreksi atau Transportasi) daripada format standar dalam negara masing-masing.

Sirkulasi pada perekonomian 2 sektor : Perusahaan dan Rumah Tangga

  1. Gaji, upah, sewa, bunga, untung
  2. Konsumsi
  3. Tabungan
  4. Investasi (via investor)
Sirkulasi pada perekonomian 3 sektor : Perusahaan, Rumah Tangga, dan Pemerintah

  1. Gaji, upah, sewa, bunga, untung
  2. Konsumsi
  3. Pajak Pribadi
  4. Gaji dan upah
  5. Pengeluaran Pemerintah
  6. Pajak penghasilan perusahaan
  7. Tabungan
  8. Investasi (via investor)

 

    Sirkulasi pada perekonomian 4 sektor / perekonomian terbuka : Perusahaan, Rumah Tangga, Pemerintah, dan Luar Negeri

    1. Gaji, upah, sewa, bunga, untung
    2. Konsumsi dalam negeri
    3. Pajak Pribadi
    4. Gaji dan upah
    5. Pengeluaran Pemerintah
    6. Pajak penghasilan perusahaan
    7. Tabungan
    8. Investasi (via investor)
    9. Impor
    10. Ekspor

    Pendapatan Nasional adalah pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu. Pendapatan Nasional dapat dihitung menggunakan tiga pendekatan :

    • Pengeluaran
    • Pendapatan
    • Produksi (Nilai Tambah)

    Pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan pengeluaran dengan mengkumulasi Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah, dan Ekspor Impor.

    Y = C + I + G + (X-M)

    Y = Pendapatan Nasional

    C = Konsumsi

    I = Investasi

    G = Pengeluaran Pemerintah

    X = Ekspor

    M = Impor

    Penghitungan Pendapatan Nasional dengan pendekatan pengeluaran sering dikaitkan dengan penghitungan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Brutto). Hal ini dikarenakan GDP itu sendiri adalah Nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga Negara tersebut dan warga Negara asing yang ada di negara tersebut. Komponen-komponen dalam penghitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran ada dalam ruang lingkup GDP.

    Pendekatan ini juga digunakan untuk menghitung keseimbangan pendapatan nasional yaitu pada Pendapatan Nasional = Pengeluaran Agregat (Y=AE) dimana Pengeluaran Agregat (Aggregate Expenditure) adalah komponen-komponen yang telah dijelaskan sebelumnya (C, I, G, X, M). Keadaan Y=AE adalah keadaan dimana suatu perekonomian dalam kondisi seimbang dan Tenaga Kerja Penuh (Full Employment). Dengan kata lain seluruh penawaran yang tersedia dalam perekonomian dipenuhi oleh permintaan, tidak ada surplus dan defisit penawaran/permintaan agregat.

    Keseimbangan Perekonomian

    Y = AE

    Y = C + I (Perekonomian 2 Sektor)

    Y = C + I + G (Perekonomian 3 Sektor)

    Y = C + I + G + X – M (Perekonomian 4 Sektor / Perekonomian Terbuka)

    Isu I

    Keadaan Tenaga Kerja Penuh (Full Employment) dalam prakteknya tidak pernah terjadi. Pandangan yang menyatakan kemungkinan tersebut adalah pandangan ekonom klasik yang menyatakan penawaran menciptakan permintaannya sendiri (Supply creates its own demands). Sekali lagi, dalam prakteknya keadaan itu tidak pernah terjadi karena kelebihan atau kekurangan penawaran selalu dihadapi, juga pengangguran yang selalu saja ditemukan. Maka dari itu diperlukan kebijakan moneter/fiskal untuk memperbaiki kondisi perekonomian.

    Isu II

    Kemustahilan keadaan Full Employment menyebabkan keadaan pengeluaran agregat berada di atas atau di bawah nilai pendapatan nasional seimbang (Y=AE). Jarak perbedaan pengeluaran agregat dengan tingkat seimbangnya menghasilkan dua hal:

    1. Jurang Inflasi (Inflationary Gap), yaitu kelebihan dalam pengeluaran agregat di atas pengeluaran agregat pada penngeluaran agregat pada penggunaan tenaga kerja penuh yang menimbulkan kekurangan barang dan seterusnya kenaikan harga-harga.
    2. Jurang Deflasi (Deflationary Gap), yaitu jumlah kekurangan pembelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan perekonomian

    Isu III

    Terjadi Resesi, yaitu keadaan dimana pengeluaran agregat riil menuurun selama sekurang-kurangnya dua triwulan berturut-turut, ditandai dengan menurunnya/berkurangnya keluaran (produk) dan meningkatnya pengangguran.

    Konsumsi                                                                                           xxx

    Pengeluaran Pemerintah                                                                       xxx

    Investasi                                                                                            xxx

    Ekspor                                                                                               xxx

    Impor                                                                                               (xxx)

    Produk Domestik Bruto                                                                              xxx

    Penerimaan pendapatan faktor luar negeri                                                xxx

    Pembayaran pendapatan faktor luar negeri                                             (xxx)

    Produk Nasional Bruto                                                                                 xxx

    Depresiasi                                                                                          (xxx)

    Produk Nasional Netto                                                                                  xxx

    Pajak Tidak Langsung                                                                          (xxx)

    Subsidi                                                                                                xxx

    Pendapatan Nasional Netto                                                                      xxx

    Laba Perusahaan                                                                                 (xxx)

    Dividen                                                                                               xxx

    Pembayaran Transfer                                                                             xxx

    Pendapatan bunga                                                                                xxx

    Pendapatan lain-lain                                                                               xxx

    Pendapatan Pribadi                                                                                        xxx

    Pajak Langsung                                                                                    (xxx)

    Pendapatan Disposibel                                                                                xxx
    HUBUNGAN KURVA MC DENGAN AVC DAN AC

    Dalam menggambarkan kurva-kurva biaya rata-rata perlulah disadari dan diingat bahwa kurva AVC dan AC dipotong oleh kurva MC pada titik terendah dari masing-masing kurva tersebut. Hal itu harus dibuat agar tidak menyalahi hukum matematik.

    Contoh yang berikut dapat memberikan penerangan mengapa sifat perpotongan yang baru dijelaskan ini harus wujud. Misalkan pada waktu produksi sebesar 10, nilai AVC adalah Rp 100. Dengan pemisalan ini maka TVC adalah 10 x RP 100 = Rp 1000. Misalkan untuk menambah 1 unit produksi lagi biaya marjinalnya adalah Rp 56. Dengan demikian TVC adalah Rp 1000 + Rp 56 = Rp 1056 dan oleh karenanya AVC adalah Rp 1056/11 = Rp 96. Sekarang kita isalkan pula bahwa biaya marjinal adalah Rp 155. Maka sekarang TVC adalah Rp 1000 + Rp 155 = Rp 1155, dan oleh sebab itu AVC adalah Rp 1155/11 = Rp 105. Contoh ini pada hakikatnya menunjukan bahwa:

    • Apabila MC < AVC, maka nilai AVC menurun (berarti kalau kurva MC di bawah kurva AVC maka kurva AVC sedang menurun).
    • Apabila MC > AVC, maka nilai AVC akan semakin besar (berarti kalau kurva MC di atas AVC maka kurva AVC sedang menaik).

    Sebagai akibat  keadaan yang dinyatakan dalam (1) dan (2) maka kurva AVC dipotong oleh kurva MC di titik terendah dari kurva AVC. Dengan cara yang sama dapat dibuktikan bahwa kurva AC dipotong oleh kurva MC pada titik terendah kurva AC. Secara grafik hubungan di antara MC dengan AVC dan AC adalah sperti yang ditunjukan dalam Gambar 1.01.

    BIAYA PRODUKSI DALAM JANGKA PANJANG SEHINGGA NAMPAK AC

    Dalam jangka panjang perusahaan dapat menambah semua faktor produksi atau input yang akan digunakannya. Oleh karena itu, biaya produksi tidak perlu lagi dibedakan antara biaya tetap dan biaya berubah. Di dalam jangka panjang tidak ada biaya tetap, semua jenis biaya yang dikeluarkan merupakan biaya berubah. Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan bukan saja dapat menambah tenaga kerja tetapi jugamenambah jumlah mesin dan peralatan produksi lainnya, luas tanah yang digunakan (teutama dalam kegiatan pertanian) dan luasnya bangunan/pabrik yang digunakan. Sebagai akibatnya, dalam jangka panjang terdapat bayak kurva jangka pendek yang dapat dilukiskan.

    CARA MEMINIMUMKAN BIAYA DALAM JANGKA PANJANG

    Karena dalam jangka panjang oerusahaan dapat memperluas kapasitas produksinya, ia harus menentukan besarnya kapasitas pabrik (plant size) yang akan meminimumkan biaya produksinya. Dalam analisi ekonomi kapasitas pabrik digambarkan oleh kurva biaya total rata-rata (AC). Dengan demikian analisi mengenai bagaimana produsen menganalisis kegiatan produksinya dalam usahanya meminimumkan biaya dapat dilakukan dengan memperhatikan kurva AC untuk kapasitas yang berbeda-beda.

    Contoh yang menggambarkan bagaimana analisi tersebut dibuat ditunjukan dalam Gambar 1.02. Dimisalkan terdapat tiga kapasitas pabrik yang dapat digunakan oleh pengusaha. Kapasitas 1 ditunjukan oleh , Kapasitas 2 ditunjukan oleh AC2, dan Kapasitas 3 ditunjukan oleh AC3. Dalam contoh ini pada hakikatnya pengusaha mempunyai tiga pilihan dalam menggunakan alat-alat produksi : Kapasitas 1, Kapasitas 2 dan Kapasitas 3. Berturut-turut biaya produksi yang akan dikeluarkan untuk menggunakan masing-masing kapasitas tersebut adalah ditunjukan oleh AC1, AC2, AC3. Yang manakah kapasitas yang akan dipilih produsen? Faktor apakah yang menentukan pilihan tersebut?

    Faktor yang akan menentukan kapasitas produksi yang digunakan adalah tingakt produksi yang ingin dicapai. Apabila perusahaan tersebut ingin mencapai produksi sebanyak 100 unit, adalah lebih baik untuk menggunakan Kapasitas 1 (lihat titik A). Kalau yang digunakan adalah Kapasitas 2, seperti dapat dilihat dalam Gambar 1.02, biaya prduksi adalah lebih tinggi (lihat titik B). Kapasitas 1 adalah kapasitas yang paling efisienm dan akan meminimumkan biaya produksi, untuk produksi di bawah 130 unit. Untuk produksi di abtara 130 dan 240 unit, Kapasitas 2 adalah yang paling efisien, karena biaya produksi adalah paling minimum dengan menggunakan kapasitas tersebut. Ini dapat dilihat misalnya untuk produksi sebanyak 160 unit. Seperti dapat dilihat dalam Gambar 1.02, AC1 berada di atas AC2, yang berarti dengan menggunakan Kapasitas 1 biaya akan lebih tinggi daripada menggunakan Kapasita 2. Untuk produksi melebihi 240 unit, misalnya 275 unit, Kapasitas 3 adalah yang harus digunakan produsen. Penggunaan ini akan meminimumkan biaya. Dari contoh ini dapat disimpulkan bahwa peminimuman biaya jangka panjang tergantung kepada dua faktor berikut:

    • Tingkat produksi yang ingin dicapai
    • Sifat dari pilihan kapasitas pabrik yang tersedia
    KURVA BIAYA TOTAL RATA-RATA JANGKA PANJANG

    Uraian yang baru saja dilakukan mengenai caranya seorang produsen menentukan kapasitas produksi yang akan digunakannya akan memberikan petunjuk tentang bentuk kurva biaya total rata-rata jangka panjang atau kurva LRAC (Long Run Average Cost). Kurva LRAC dapat didefiniskan sebagai kurva yang menunjukan biaya rata-rata yang paling minimum untuk berbagai tingkat produksi apabila perusahaan dapat mengubah kapasitas produksinya. Dalam Gambar 1.02 kurva LRAC meliputi kurva AC1 sampai di titik a, kurva AC2 dari titik a ke titik b, dan bagian dari AC3 dimulai dari titik b.

    Kurva LRAC bukanlah dibentuk berdasarkan kepada bebearap kurva AC saja, tetapi berdasarkan kepada kurva AC yang tidak terhingga banyaknya. Yaitu ia tidak dibentuk oleh tiga kurva AC seperti yang ditunjukan oleh Gambar 1.02, akan tetapu oleh kurva AC yang sangat banyak, yaitu seperti yang terdapat dalam Gambar 1.03. Oleh karena kurva AC banyak jumlahnya maka kurva LRAC adalah suatu kurva yang berupa garis lengkung yang berbentuk U. Kurva LRAC tersebut merupakan kurva yang menyinggung beberapa kurva AC jangka pendek. Titik-titik persinggungan tersebut merupakan biaya produksi yang paling optimum/minimum untuk berbagai tingkat produksi yang akan dicapau pengusaha di dalam jangka panjang.

    Satu hal yang harus diingat dalam menggambarkan kurva LRAC adalah bahwa kurva itu tidak menyinggung kurva-kurva AC pada bagian (di titik) yang terendah dari kurva AC. Dalam Gambar 1.03 hanya kurva ACx yang disinggung oleh kurva LRAC pada bagian kurva ACx yang paling rendah, yaitu titik B. Kurva AC yang terketak di sebelah kiri dari ACx disinggung oleh kurva LRAC di bagian yang lebih tinggi dan di sebelah kiri dari titik terendah. Perhatikanlah misalnya kurva AC2. Jelas kelihatan bahwa titik A bukanlah titik terendah pada kurva AC2. Titik tersebut terletak di sebelah kiri dari titik terendah AC2. Kurba AC yang terletak di sebelah kanan dari kurva ACx disinggung oleh kurva LRAC juga di bagian yang terletak lebih tinggi dari minimum pada AC yang bersangkutan, dan titik singgung tersebut terletak di sebelah kanan dari titik yang terendah. Titik C pada kurva AC3 jelas menggambarkan keadaan tersebut.

    Di dalam jangka panjang titik terendah dari suatu AC tidak menggambarkan biaya yang paling minimum untuk memproduksi suatu tingkat produksi. Terdapat kapasitas produksi lain (AC lain) yang dapat meminimumkan biaya. Sebagai buktinya perhatikanlah AC1 dan AC2. Titik A1 adalah titik terendah pada AC1. Dengan demikian dalam jangka pendek, produksi sebesar QA dapat diproduksikan dengan biaya yan lebih rendah dari titik mana pun pada AC1. Tetapi dalam jangka panjang biaya itu belum merupakan biaya yang paling minimum, karena apabila kapasitas produksi yang berikut digunakan (AC2), produksi sebesat QA akan mengeluarkan biaya sebanyak seperti ditunjukan oleh titik A pada AC2. Dari contoh ini dapat disimpulkan bahwa kurva LRAC, walaupun tidak menghubungkan setiap titik terendah dari AC, menggambarkan biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang.

    Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Istilah ini biasanya tidak diterima para kelompok separatis sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih istilah yang lebih netral sepertideterminasi diri.

    Pada masa kejayaannya, nasionalisme tampak begitu kuat mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Ini dapat dengan mudah terlihat dalam berbagai ungkapan ‘bangsa-ku, negeri-ku, yang ku cinta’ atau ‘demi kehidupan berbangsa dan bernegara’, sebagaimana muncul hampir dalam setiap percakapan sehari-hari hingga dialog resmi kenegaraan. Memaknai Indonesia, dalam konteks nasionalisme, merupakan sebuah kesatuan antara bangsa (nation) sekaligus negara (state) (Dhakidhae, 2001: v). Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas negara-bangsa (nation-state) dari susunan beraneka solidaritas suku-bangsa (ethnic). Sebuah misteri besar di balik bersatunya beraneka entitas kultural yang sangat heterogen dalam sebuah payung yang bernama negara-bangsa Indonesia, menjadi hal yang biasa saja dalam kehidupan nasional. Slogan “bhineka tunggal ika”, tampaknya menjadi adagium pamungkas yang mampu mereduksi semua perbedaan tersebut.

    Namun, munculnya berbagai konflik sosial pada era 1990-an, tampaknya menjadi sebuah titik balik perjalanan nasionalisme di Indonesia. Setelah berjaya hampir setengah abad di bumi nusantara pasca kemerdekaannya, nasionalisme Indonesia seakan-akan runtuh begitu saja tanpa sisa. Rasa kebanggaan sebagai sebuah kesatuan bangsa Indonesia tampaknya menghilang, tergerus oleh gelombang semangat kesukuan dan kedaerahan yang tengah menggelora di sejumlah wilayah. Ikatan kebangsaan Indonesia menjadi tidak begitu berarti, dan tenggelam oleh sentimen etnis yang sangat kental. Munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama, dan ras (SARA) di Kalimantan, Maluku, dan Poso, hingga gerakan pemberontakan lokal radikal di Timor Timur, Aceh, Maluku Selatan, dan Papua tampaknya menjadi bukti nyata rasa kebangsaan yang memudar dan sekaligus sebagai ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai kesatuan entitas dalam sebuah negara-bangsa. Wacana separatisme kultural yang anti-nasionalisme Indonesia menjadi fenomena sekaligus pertanyaan yang terus membayang. Mungkinkah, nasionalisme Indonesia telah berakhir?

    Contoh gerakan separatisme di Indonesia modern adalah

    • Republik Maluku Selatan
    • Gerakan Aceh Merdeka
    • Organisasi Papua Merdeka

    Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

    Syarat-syarat sebuah negara terbagi menjadi dua, yaitu:

    Syarat Primer:

    • Terdapat Rakyat
    • Memiliki Wilayah
    • Memiliki Pemerintahan yang Berdaulat

     

    Syarat Sekunder:

    • Mendapat pengakuan Negara lain

    Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

    Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.

    Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.

    Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.

    Berdasarkan sejarahnya, Indonesia tidak terbentuk atas dasar warisan kolonial. Meskipun Indonesia telah dilanda penjajahan kolonialisme selama berartus-ratus tahun, namun proses dan momentum pembentukan Indonesia sebagai Negara terlepas dari pengaruh kolonialisme itu, terlebih lagi bila dikatakan warisan colonial. Hal tersebut disebabkan proses terbentuknya Indonesia sebagai Negara yang resmi berdasarkan suatu momentum yang dapat dikatakan perebutan kekuasaan yang ditandai oleh proklamasi atau pengakuan. Adapun keadaan Indonesia pascapengakuan tersebut masih belum dapat lepas dari pengaruh kolonialisme. Sistem pemerintahan dan sistem penyelenggaraan sebagai Negara masih terpengaruh dan mewarisi sistem sebelumnya, yang diantaranya sistem yang diserap dari kolonialisme.

    Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

    Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

    Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

    • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
    • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
    • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
    • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

    Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik,proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

    Tahun-tahun terakhir ini semakin banyak orang yang menyadari bahwa politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup manusia. Politik hadir di mana-mana, di sekitar kita. Sadar atau tidak, mau atau tidak, politik ikut mempengaruhi kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai dengan kematian, tidak peduli apakah kita ikut mempengaruhi proses politik atau tidak. Karena politik mempengaruhi kehidupan semua orang, maka Aristoteles pernah mengatakan, politik merupakan master of science.

    Maksudnya bukan dalam arti ilmu pengetahuan (scientific), tetapi ia menganggap pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahamai lingkungan. Bagi Aristoteles, dimensi politik dalam keberadan manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Bagi Aristoteles, politik berarti mengatur apa yang seyogianya kita lakukan dan apa yang seyogianya tidak dilakukan. Penjelasan ini menyadarkan kita akan pentingnya mempelajari politik.

    Solusi I

    Jakarta, RMexpose.Pemerintah menyatakan, ACFTA tak bisa ditunda atau dibatalkan. Kenyataannya, ACFTA dapat ditunda melalui proses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk, dalam hal ini Sekretariat Jenderal ASEAN selama pemerintah (Menteri Perdagangan) mempunyai itikad untuk hal tersebut.

    Pemerintah jelas mengambil keputusan sendiri untuk masalah sangat strategis ini. Kenyataannya, dalam proses ACFTA, DPR tidak dilibatkan, mulai dari proses perundingan internasional hingga penandatanganan, padahal perjanjian tersebut secara hukum nasional masih perlu diadopsi ke dalam hukum nasional oleh DPR.

    Pemerintah menyatakan, dengan ACFTA peluang pasar akan membesar, dengan mendekati dua miliar penduduk di kawasan ASEAN dan China. Kenyataannya, jika pelaku bisnis kita kalah bersaing, Indonesia tidak dapat memanfaatkan ACFTA, tetapi justru akan kehilangan potensi ekonomi dan lost generation. Contoh menarik, Indonesia telah mempromosikan pariwisata ke China sejak 2006. Malangnya, turis Indonesia justru jauh lebih banyak berkunjung ke China dengan berbagai alasan, termasuk untuk berobat.

    Menteri Perdagangan menyatakan akan mencari solusi bagi pelaku ekonomi nasional yang terkena dampak negatif ACFTA. Namun, akan sangat terlambat jika baru ditangani sekarang karena pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial ataupun ketenagakerjaan. Apa solusinya? Jelas tak ada solusi jangka pendek karena permasalahan Indonesia dalam kasus ACFTA sudah menjadi permasalahan kumulatif.

    Pertama, diperlukan suatu badan yang bertugas menghantar Indonesia menuju era perdagangan bebas ACFTA. Prinsipnya, badan ini memastikan kemampuan dan persiapan bangsa ini menjadi memadai menghadapi persaingan bebas, terutama dengan China. DPR sendiri merasa perlu membentuk panitia kerja setelah melihat proses persiapan ACFTA, pemerintah tidak siap dan tak transparan.

    Kedua, Indonesia perlu membangun keunggulan berkelanjutan dan jangka panjang (sustainability competitiveness). Perlu melibatkan dan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk pelaku ekonomi swasta dan legislatif agar cara pikir lama dapat ditransformasikan ke cara pikir masa depan menghadapi ACFTA.

    Ketiga, pembangunan infrastruktur terutama kelistrikan menjadi mutlak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi, sebagai syarat utama peningkatan daya saing. Peran swasta mutlak diperlukan. Investasi swasta di kelistrikan saat ini tidak menarik. Pembenahan birokrasi dalam kerangka reformasi birokrasi juga harus dipercepat. Seluruh parameter efisiensi, seperti perizinan, peruntukan lahan, hingga biaya pajak dan retribusi, harus ditata kembali secara serius. Tak kalah penting adalah kepastian hukum dalam rangka menjamin iklim investasi yang kondusif.

    Soulsi II

    Jakarta, 2/2 (Antara/FINROLL News) – Asosiasi Usaha Menengah Indonesia (AUMI) mengusulkan 3 program sebagai tindakan solutif dan antisipatif terkait penerapan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) demi mempertahankan kelangsungan kegiatan bisnis koperasi usaha kecil menengah (KUKM) tanah air.

    “Kami sangat optimistis ketiga poin itu bisa mengatasi dan menyelamatkan KUKM jika ketiga usulan itu dilaksanakan pemerintah, terutama dalam pelaksanaan 100 hari ACFTA,” kata Ketua Umum AUMI, Ilhamy Elias, di Jakarta, Selasa.

    Ia mengatakan, langkah pertama untuk meredam dampak buruk ACFTA terhadap KUKM adalah memetakan dampak terhadap sektor KUKM.

    Sementara langkah kedua, menerbitkan kebijakan strategis, dan ketiga melakukan koordinasi total dengan seluruh kementerian dan kelembagaan terkait dengan kebijakan perdagangan global itu.

    “Kemudian dikembangkan lebih lanjut yakni dari poin kedua, usulan berisi 5 kebijakan dan poin ketiga berisi 4 kebijakan,” katanya.

    Lima poin kebijakan kedua adalah, penyediaan desain dan ahli mutu, bantuan manajemen dan pendanaan, pengembangan kompetensi inti daerah one desa one product (ODOP) serta sistem klaster, pembebasan seluruh biaya perpajakan selama 10 tahun, dan pemberian perizinan terbuka sesuai tata ruang daerah.

    Sedangkan empat kebijakan dari poin ketiga adalah, penyediaan bahan baku, pengolahan dan manufakturing, perdagangan dalam negeri dan ekspor, dan pengarahan dana CSR ke KUKM pengguna yang memakai bahan baku dan kearifan lokal.

    Solusi III

    Pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area/ACFTA) menimbulkan kegelisahan pada industri manufaktur nasional,karena dampak terbesar sudah dipastikan akan mengancam industri manufaktur dalam negeri.

    Dampak tersebut menimbulkan respon yang beragam terhadap ACFTA di dalam negeri. Untuk itu Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB mengadakan Diskusi Publik untuk memberikan kontribusi pemikiran IPB terkait pemberlakuan ACFTA dan pengaruhnya di Indonesia. Diskusi digelar di Kampus IPB Darmaga.Bogor(22/1).

    Pakar Agribisnis yang juga Guru Besar IPB, Prof. E. Gumbira Said menyampaikan akan sulit bagi Indonesia menahan masuknya produk-produk Cina ke dalam negeri sehingga yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya saing produk dalam negeri.

    Dikatakannya, pemberlakuan perdagangan bebas ACFTA tidak selalu membawa dampak buruk bagi Indonesia. Menurutnya ACFTA juga akan membawa keuntungan bagi Indonesia misalnya harga barang dan produk manjadi lebih murah, pilihan ragam konsumsi menjadi semakin banyak, peluang untuk mendorong produksi produk atau barang komplemen yang tidak mampu dihasilkan oleh RRC.

    Ia meyakinkan, Indonesia masih kuat di sektor agribisnisnya. Untuk itu perlu digenjot produk-produk agrobisnis dan agro industri seperti kelapa sawit, karet alam, kakao, rempah-rempah, produk Biofarmaka, pulp dan kertas, kopi, minyak atsiri tanaman obat, gambir dan rotan. Juga komoditas non komplementer potensial seperti buah-buahan tropika (mangga, nenas, pisang, durian, manggis, rambutan, pepaya), sayuran tropika khusus(kacang panjang, nangka, labu siam, kangkung), ikan tangkap, udang, rumput laut dan makanan olahan khas Indonesia.

    Berdasarkan data BPS sektor penyumbang PDB terbesar tahun 2008 adalah industri manufaktur (pengolahan) sebesar 27.8 %, pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 14.3% dan perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13.9%.

    Hal senada disampaikan oleh Dr.Dedi Budiman Hakim, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi IPB. Hanya saja ia menambahkan derasnya produk asing yang masuk ke Indonesia dikhawatirkan akan sulit untuk mengontrolnya, terutama produk pangan. Terlebih Indonesia belum memiliki agreement tentang keamanan pangan produk produk luar sehingga perlu dibuatkan kebijakan terkait hal tersebut.

    Solusi yang diusulkan melalui diskusi ini antara lain adalah dengan mereformasi lembaga-lembaga pemerintahan untuk memperbaiki pelayanan publik serta menghilangkan pungutan liar yang membuat ekonomi biaya tinggi. Selain itu mempercepat perbaikan infra struktur jalan, menumbuhkembangkan sektor riil dan mengkampayekan kecintaan pada produk dalam negeri di semua kalangan merupakan solusi lain yang sama pentingnya untuk pemerintah.

    Bicara ACFTA di Dialog RRI

    Sama halnya dengan pakar ekonomi pertanian di IPB, Dr.Ir. Nur Azzam Achsani dalam Dialog Sore di RRI Cabang Bogor memberikan solusi lain yakni terapkan aturan non tarif dengan standar ketat (19/1). “Kita bisa menerapkan aturan agar produk-produk pangan yang masuk harus sesuai dengan negara kita. Indonesia mayoritas muslim, kita dapat memanfaatkan kondisi terseut dengan memberlakukan kehalalan pangan produk China yang mau masuk,” ujarnya. Selain itu, aturan ini juga dapat diklaim untuk perlindungan konsumen.

    Despite the Final Examination has a reasonable goal for education in Indonesia, it brings some controversy neither for its goal nor the avail. The government via the Ministry of Education insists that a national examination is still needed for Indonesian education to maintain the quality and to set up the national standard for senior high schools. The goal of the national examination sounds nice and reasonable but the practice has long been criticized. Last year, the national examination brought about controversies on the score conversion, which was considered not transparent.

    On more fundamental bases, the educational practitioners criticize the exam too. The big question is “what for?” Do we need a national examination to improve the quality of education? Anyway, the government has promoted school-based management that promotes the autonomy of schools so that in the future each school has a root in the society and meets the demand of the society. Further, then, each school has their own identity with its own uniqueness and excellences. This management system has been developed to answer the problems of a centralized educational system, applied since the New Order. The national examination, in this case, is not in line with the policy of school-based management.

    A national standardized test is one way to control the quality of education. The problem is that it determines whether the students pass a certain level of education or not. The schools have no authority and the government does not trust the schools. Passing a certain level of education, senior high school, is the right of the schools. The schools and the teachers know best their students. Why should the government burdens themselves with such a responsibility? A national standardized test is O.K. as far is it is meant to control the quality of the schools, but not determining the students’ fate.

    What a pity! The high school world is a real scary world full of tests. Anyway, a test, a national examination, is a big business, both in terms of the scope and the money spending for it. Whenever the government has not changed their view on education as a whole, the business will go on.